Friday, July 10, 2015

Perubahan Konstitusi di Indonesia

PERUBAHAN KONSTITUSI INDONESIA DARI 5 JULI HINGGA LAHIRNYA PERUBAHAN (AMANDEMEN) I,II,III, dan IV
A.  PENGERTIAN PERUBAHAN KONSTITUSI
Perkataan “perubahan” dalam konstitusi asal katanya “rubah”, dan kata kerjanya “merubah”. Menurut Sri Sumantri mengubah UUD atau konstitusi dapat berarti:
Mengubah sesuatu yang sudah diatur dalam UUD atau konstitusi (membuat isi ketentuan UUD menjadi lain dari semula melalui penafsiran).
Menambahkan sesuatu yang belum diatur dalam UUD atau konstitusi.
Sri Sumantri mengatakan bahwa mengubah konstitusi atau UUD sama dengan mengamandemen konstitusi atau UUD. Hal ini didasarkan pada mengubah UUD dalam bahasa Inggrisnya adalah “to amandement the constitution”, sedangkan kata perubahan konstitusi bahasa inggrisnya adalah “constitution amandement”.
B.  PERUBAHAN KONSTITUSI DI INDONESIA MULAI 5 JULI 1959 HINGGA LAHIRNYA PERUBAHAN I,II,III,DAN IV
1.     Masa Orde Lama (5 Juli 1959-1966)
Karena situasi politik pada sidang konstituante 1959 banyak tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan UUDS 1950 yang berlaku pada saat itu.
Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, negara Indonesia berdasarkan UUD 1945. Masa ini disebut masa Orde Lama, banyak pula terjadi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan. Sistem penmntahan dijalankan tidak sesuai dengan UUD 1945.
Penyimpangan-penyimpangan itu ialah diantaranya:
Presiden mengangkat ketua dan wakil ketua DPR, MPR, dan MA serta wakil ketua DPA menjadi Menteri Negara.
MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Presiden mengeluarkan produk hukum yang setingkat undang-undang tanpa persetujuan DPR.
Presiden membubarkan DPR hasil pemilu karena berselisih dengan pemerintah mengenai RAPBN untuk tahun 1961. Dan pada saat itu, DPR menolak mengesahkan RAPBN tersebut. Kemudian Presiden membentuk DPRGR (DPR Gotong Royong) melalui penpres no.4 tahun 1960 sebagai ganti dari DPR yang dibubarkan sejak 5 Maret 1960. Komposisi keanggotaan DPRGR tidak didasarkan atas pertimbangan kekuatan partai yang dihasilkan pemilu tetapi diatur sedemikian rupa oleh presiden.
Masa orde lama berakhir dengan adanya pemberontakan G30SPKI dan rakyat menuntut perbaikan-perbaikan dalam penyelenggaraan negara yang otoriter karena pada masa ini dipaksakan doktrin seolah-olah negara dalam keadaan revolusi dan presiden sebagai kepala negara otomati menjadi pimpinan besar revolusi, sehingga dengan hal-hal diatas lahirlah TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat). Dalam keadaan kacau itu presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah 11 Maret atau Supersemar kepada Letjen Soeharton berdasarkan surat perintah itu Letjen Soeharto atas nama Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/ Mandataris MPRS menandatangi Keputusan Presiden No, 113/ 1966 tertanggal 12 Maret 1966 yang menyatakan pembubaran PKI.
Untuk mengakhiri kemelut politik tersebut, pada tanggal 7-12 Maret 1967 diselenggarakan sidang istimewa MPRS dengan tema utama mengenai pertanggungjawaban presiden selaku mandataris MPRS. Dalam sidang itu MPRS menilai presiden Soekarno tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusionalnya selaku mandataris MPRS, khusunya yang menyangkut kebijakan menghadapi G30S. Oleh karena itu, MPRS mengeluarkan ketetapan No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jendral Soeharto sebagai pejabat presiden hingga dipilihnya presiden oleh MPRS hasil pemilu. Selanjutnya, dalam sidang umum V MPRS tanggal 21 Maret 1968, Soeharto diangkat menjadi presiden RI untuk masa 5 tahun (1968-1973)
2.    Masa Orde Baru (11 Maret 1966-21 Mei 1998)
Setelah orde lama runtuh, pemerintah baru terbentuk yang diberi nama Orde Baru. Pada masa ini pemeritah menyatakan dan bertekad akan menjalankan UUD 1945 Dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Dalam upaya untuk mewujudkan hal itu pemerintah Soeharto mengadakan pemilihan umum pada tahun 1Badan Permusyawaratan / Perwakilan rakyat.
Pemerintah yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 ini menghasilkan lembaga- lembaga negara dan pemerintah yang tidak sementara lagi.MPR kemudian menetapkan GBHN, memilih presiden dan wakil presiden dan memberi mandat kepada presiden terpilih untuk melaksanakan GBHN. Sejak itu mekanisme 5 tahunan berjalan dengan teratur dan stabil, sebab sepertiga anggota MPR dikontrol dengan pengangkatan.
Setelah meninjau sejarah pertikaian antara kaum komunis dan kaum islam dalam spektrum politik pemerintah ORBA berupaya meredakan konflik tersebut dengan membangun konsep “Demokrasi Pancasila” yang sebenarnya otoriter dengan angkatan bersenjata menjadi intinya.
Pada masa Orde Baru, selain kekuasaan eksekutif,kekuasaan legislatif dan yudikatif juga berada di bawah presiden. Pembangunan di segala bidang dengan prioritas pertumbuhan ekonomi malah menghasilkan ketidak merataan pendapatan. Ada segelintir orang yang menguasai dua per tiga GNP Indonesia sehingga semakin dalam jurang pemisah antara si miskin dan si kaya.Sementara itu pihak lain yaitu pemerintah dan penguasa menjalin kerjasama yang menguntungkan pribadi dan keluarga pejabat.
Apabila menengok kembali tekad awal dari pemerintahan orde baru yang akan menjalankan UUD 1945 secara murni dan konsekuen agaknya masalah diatas sangat bertentangan dengan hal itu. Yang terjadi justru dalam pelaksanaannya malah menyimpang dari pancasila dan UUD 1945 yang murni. Dalam masalah diatas tadi terjadi pelanggaran pasal 23 mengenai hal keuangan. Kareena hhutang para komlomerat atau private debt dijadikan beban rakyat Indonesia atau publik debt. Selain terjadi pelanggaran pasal 23,pasal 33 mengenai kesejahteraan sosial khususnya pada pasal 33 ayat 3 “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” akan tetapi pemerintah malah memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk menghancurkan hutan dan sumber alam kita.
Pada sisi yang berbeda dalam hal kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang telah diatur pada pasal 28 juga dilanggar, hal ini dapat kita lihat dengan adanya pembedelan massa serta pembunuhan yang dilakukan kepada orang-orang yang kritis terhadaap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara melalui melalui sejumlah peraturan: Ketetapan MPR No: I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa PMR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya. Ketetapan MPR No : IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Undang-undang No 5 tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR No.IV/MPR/1983.
Krisis moneter tahun 1997 berdampak pula terhadap kehidupan sosial dan politik sehingga terjadi krisis kepercayaan dan krisis politik. Pada awal tahun 1998 keadaan negara semakin tidak menentu dan krisis ekonomi tidak ditemui titik terang penyelesaiaannya. Akibatnya aksi mahasiswapun menjadi semakin marak menuntut pengunduran diri presiden Soeharto hingga terjadilah peristiwa trisakti. Dan pada 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB di gedung istanta merdeka, presiden soehaarto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden. Dengan demikian berakhirlah masa kekuasaan Orde Baru selama tiga puluh dua tahun.[1]
3.    Masa Reformasi
Setelah Soeharto turun, BJ Habibie naik menjadi presiden. Karena dianggap hanya sebagai tokoh transisi, ia dapat berusaha mengurusi transisi itu sebagai tugas yang istimewa sehingga perannya dikatakan berhasil. Prakarsa awalnya, adalah mewujudkan reformasi politik. Setelah berunding bersama MPR dan DPR saat itu hasilnya adalah Sidang Istimewa MPR pada Desember 1998. Sidang itu antara lain menghasilkan keputusan memberi mandat pada presiden untuk menyelenggarakan Pemilu pada tahun 1999.
Partai-partai baru mulai bermunculan untuk memperebutkan kursi DPR dalam pemilu 1999 tersebut yang diikuti oleh 48 parati. Pemilu 1999 adalah pemilu paling demokratis bila di bandinngkan pemilu-pemilu jaman ORBA. Sidang MPR pasca pemilu 1999 pemilih presiden KH. Abdurrahman Wahid dan wakil presiden megawati Soekarno Putri.[2]
Pada era reformasi ini gagasan untuk melakukan amandemen atas UUD 1945 semakin menguat karena adanya tuntutan dari mahasiswa untuk mengamandemen UUD 1945,bahkan beberapa partai politik mencantumkan ”amandemen” di dalam program perjuangan dan platform politiknya. Tidak sedikit pula pakar hukum tata negara, dan politik yang menimpakan kesalahan kepada UUD 1945 berkenaan dengan krisis nasional yang kini sedang menimpa bangsa Indonesia. Di antara mereka bahkan ada yang mengusulkan dilakukannnya perbaikan total atas konstitusi dengan mengubah UUD 1945 dan bukan hanya dengan amandemen yang sifatnya tambal sulam saja.
Alasan pada masa reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau perubahan terhadap UUD 1945 antara lain :
Fundamen ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang demokratis.
Pada masa ORBA, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan multitafsir) serta kenyataan perumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi. Tujuan perubahan UUD waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum.
Hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Keberadaan UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penetapan ulang terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya  memulai ”kontrak sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar yaitu sebuah konstitusi.
Terkait dengan pelaksanaan UUD 1945, ada hal yang sangat penting dalam sidang MPR 1999 tersebut. Kesepakatam politik seluruh anggota MPR untuk mengamandemen secara bertahap pasal-pasal di dalam UUD 1945 agar lebih klengkap, lebih jelas ( tidak multi interpretable)dan sesuai dengan dinamika masyarakat serta perkembangan jaman. Sedangkan pembukaan UUD 1945 dan konsep negara kesatuan sebagaimana termaktub di dalam pasal 1 ayat 1 tidak akan diubah. Sistem dan Bentuk Perubahan Konstitusi periode diberlakukannya UUD’45 sampai Amandemen
Perubahan, tambahan dan penyempurnaan UUD 1945 dapat dilaksanakan melalui pasal 37 UUD 1945 yaitu oleh MPR berdsarkan ketentuan tersebut itu pula, maka yang dapat dilakukan oleh MPR berdasarkan haknya sebagaimana ditentukan dalam pasal 37 UUD 1945 adalah merubah, menambah, atau menyempurnakan UUD 1945. Sejak berlakunya lagi UUD 1945 berdasarkan dekrit presiden 5 Juli 1959, ternyatalah bahwa UUD’45 tersebut tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen sehingga banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan, antara lain banyak lembaga-lembaga negara sebagaimana di kehendaki UUD’45 masih bersifat sementara, juga lembaga-lembaga tersebut belum atau tidak berfungsi sebagaimana di tentukan dalam UUD.
4.    Sistem dan Bentuk Perubahan Konstitusi Dari Diberlakukannya Kembali UUD 1945 Sampai Amandemen UUD 1945 I,II,III, dan IV.
Sistem perubahan konstitusi di Indonesia menganut sistem constitutional amandement yaitu perubahan tidak dilakukan langsung terhadap UUD lama, UUD lama masih tetap berlaku, sementara bagian perubahan atas konstitusi tersebut merupakan adendum/ sisipan dari konstitusi yang asli (lama). Oleh karena itu, yang diamandemen merupakan / menjadi bagian dari konstitusi yang asli. Hal ini terdapat pada konstitusi kita, bahwa selama periode diberlakukannya kembali UUD ’45 sampai dengan amandemen UUD ‘45 I,II,III, IV, banyak pasal yang diamandemen. Dalam mengamandemen UUD ’45, konstitusi lama masih berlaku sedangkan hasil dari perubahan disisipkan menjadi bagian dari konstitusi yang asli. Perubahan tentang UUD ’45 sudah bisa diramal oleh para penyusunnya. Para penyusun UUD ’45 menyadari bahwa UUD ’45 disusun dalam waktu yang singkat kurang lebih 49 hari. Jadi dimungkinkan tata cara perubahan untuk penyempurnaan, bahkan kehendak untuk dikemudian hari untuk membuat suatu UUD baru. Soekarno mengutarakan bahwa UUD ’45 merupakan UUD kilat.
Dengan adanya dekrit presiden 5 Juli 1959, maka konstitusi Negara Indonesia kembali memberlakukan UUD 1945. Walaupun diberlakukan kembali UUD ’45, ternyata UUD ’45 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sehingga banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan, maka tuntutan untuk merubah konstitusipun mulai banyak. Kondisi politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain yang senantiasa berubah, juga mewajibkan untuk menyesuaikan ketentuan hukum yang berlaku. Sehingga konstitusi perlu diubah jika tidak sesuai dengan kemauan masyarakat. Dorongan untuk mengubah dan memperbaharui UUD 1945 juga dikarenakan UUD 1945 sebagai subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaannya, tidak berjalan sesuai dengan “staatsidee” mewujudkan Negara berdasarkan konstitusi seperti tegaknya tatanan demokrasi, Negara berdasarkan atas hukum yang menjamin hal-hal seperti hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Justru yang terjadi adalah etatisme dan otoriterisme yang menggunakan UUD ’45 sebagai sandaran. Amandemen terhadap UUD ’45 tidak terutama ditentukan oleh ketentuan hukum yang mengatur tata cara perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh berbagai kekuatan politik dan social yang dominan pada saat-saat tertentu.
UUD ’45 menampilkan keunikan yang tidak lazim dijumpai pada sistem UUD di Negara-negara lain. Keunikan itu antara lain mengenai Penjelasan dan aturan Tambahan. Belum pernah dijumpai ada UUD yang mempunyai penjelasan seperti UUD ’45. Bahkan penjelasan itu dimuat dan diumumkan dalam Berita Republik  (1946) dan Lembaran Negara (1959) bersama-sama pasal-pasal dalam UUD. Penjelasan dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara. Keunikan-keunikan ini terjadi akibat dari sifat UUD yang kilat, sehingga baik isi maupun penyusunannya kurang memperhatikan syarat, unsur, dan asas-asas pembuatan suatu undang-undang yang baik. Pada saat ini tidak semua aturan peralihan dalam UUD ’45 masih berlaku, dikarenakan baik objek, kewenangan atau sasaran yang hendak dicapai tidak ada lagi / waktunya sudah lampau. Demikian pula aturan tambahan, sebagai aturan temporer, aturan tambahan hanya berlaku sesuai dengan ketentuan dalam UUD ’45.
Cara perubahan konstitusi di Indonesia menganut formal amandemen yaitu perubahan konstitusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam konstitusi yang bersangkutan. Di Indonesia, tentang tata cara perubahan konstitusi tercantum dalam UUD ’45 pasal 37 dimana ada badan yang berwenang menetapkan dan merubah UUD yaitu MPR.
Berdasarkan pasal 37 UUD 1945, tata cara perubahan UU di Indonesia sebagai berikut:
Usul perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Setiap usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Untuk mengubah pasal-pasal UUD, siding MPR dihadiri oelh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.
Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya limapuluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.[4]


0 komentar:

Post a Comment