Abstrak.
Jakarta
adalah ibu kota Indonesia yang terletak di pantai barat-utara pulau Jawa, dalam
dataran delta dan melewati 13 sungai alami dan buatan. Megapolitan ini memiliki
populasi sekitar 10,2 juta orang yang tinggal di daerah sekitar 660 km2, dengan
pembangunan kota yang relatif cepat. Telah dilaporkan selama bertahun-tahun
bahwa beberapa tempat di Jakarta mereda dengan tingkat yang berbeda. Faktor
penyebab utama penurunan tanah di Jakarta kemungkinan besar adalah ekstraksi
air tanah yang berlebihan, beban konstruksi (yaitu, penyelesaian tanah
kompresibilitas tinggi), dan konsolidasi alami tanah alluvial. Penurunan tanah
di Jakarta telah terjadi belajar menggunakan survei leveling, survei GPS,
teknik InSAR dan Geometric-Histori. Hasil yang diperoleh dari survei leveling,
survei GPS dan teknik INSAR selama periode antara 1974 dan 2010 menunjukkan
bahwa penurunan tanah di Jakarta memiliki variasi spasial dan temporal dengan
tingkat tipikal sekitar 3–10 cm tahun1. Pembangunan kota yang cepat, tanah
alluvium yang relatif muda, dan inisiatif mitigasi dan adapatasi yang relatif
lemah, adalah faktor peningkatan risiko penurunan tanah di Jakarta. Dampak
ambles dapat dilihat sudah di lapangan dalam bentuk retak dan kerusakan
perumahan, bangunan dan infrastruktur; perluasan area banjir (sungai dan
pesisir) yang lebih luas, kerusakan sistem drainase, perubahan saluran sungai
dan sistem aliran drainase dan meningkatnya intrusi air laut pedalaman. Dampak
ini dapat dikategorikan ke dalam dampak infrastruktur, lingkungan, ekonomi dan
sosial. Risiko dan dampak dari penurunan tanah di Jakarta dan aspek-aspek
terkaitnya dibahas dalam makalah ini.
1. Pengantar
Penurunan
tanah adalah bahaya antropogenik alami yang mempengaruhi cukup banyak daerah
perkotaan besar (kota) di dunia, termasuk Jakarta, ibu kota di Indonesia.
Letaknya di daerah dataran rendah di pantai utara Jawa Barat, berpusat pada
koordinat sekitar 6-150 S dan C106? 500 E (lihat Gambar 1), dalam dataran delta
dan melewati 13 kanal alami dan dua kanal. Megapolitan ini memiliki populasi
sekitar 10,1 juta orang pada tahun 2014, menghuni area seluas sekitar 662 km2,
dengan pembangunan kota yang relatif cepat. Secara topografi, wilayah Jakarta
memiliki kemiringan berkisar antara 0 dan 2? di bagian utara dan tengah, antara
0 dan 5? di bagian selatan, dan daerah paling selatannya memiliki ketinggian
sekitar 50m di atas permukaan laut rata-rata. Penurunan tanah adalah fenomena
terkenal yang mempengaruhi Jakarta, dan telah diamati menggunakan beberapa
teknik geodetik dan telah banyak dilaporkan selama bertahun-tahun (Rismianto
dan Mak, 1993; Murdohardono dan Sudarsono, 1998; Purnomo dkk., 1999;
Rajiyowiryono, 1999 ; Abidin dkk., 2001, 2004, 2008, 2010, 2011, 2013; Koudogbo
et al., 2012; Ng et al., 2012; Chaussard et al., 2013). Menurut studi tersebut,
penurunan tanah di Jakarta memiliki variasi spasial dan temporal dengan tingkat
tipikal sekitar 3–10 cm tahun1.
Dampak
penurunan tanah di Jakarta dapat dilihat sudah di lapangan dalam bentuk retak
dan rusaknya perumahan, bangunan dan infrastruktur; perluasan area banjir
(sungai dan pesisir) yang lebih luas, kerusakan sistem drainase, perubahan
saluran sungai dan sistem aliran drainase dan peningkatan intrusi air laut
darat. Secara umum, dampak ini dapat dikategorikan ke dalam dampak
infrastruktur, lingkungan, ekonomi dan sosial. Karena informasi karakteristik
penurunan tanah penting untuk pembangunan perkotaan yang berkelanjutan di Jakarta
(lihat Gbr. 2), maka memahami risiko dan dampak dari penurunan tanah di Jakarta
dan aspek-aspek terkaitnya sangat penting dan strategis, dan land subsidence
charactristics harus
terus
dipantau.
2. Karakteristik penurunan tanah di
Jakarta
Fenomena
penurunan tanah di Jakarta sebenarnya telah diamati menggunakan beberapa metode
geodetik, seperti survei Leveling, survei GPS, InSAR, survei Microgravity, dan
metode Historis-Geometris. Secara umum, penurunan tanah yang diamati di Jakarta
memiliki variasi spasial dan temporal, dengan tingkat tipikal sekitar 3–10
cmyear1
(lihat Gambar 3, 4). Tingkat penurunan ini diperoleh dari integrasi hasil yang
diperoleh oleh survei Leveling (1974-1997), survei GPS (1997-2010), dan teknik
InSAR (2006-2010). Dalam periode ini sekitar 37 tahun (1974-2010), total
penurunan hingga sekitar 4m telah diamati di beberapa lokasi di Jakarta.
Subsidi tanah yang diamati di sepanjang wilayah pesisir Jakarta relatif
memiliki tingkat yang lebih besar daripada daerah pedalaman. Gambar 3 dan 4
juga menunjukkan adanya variasi spasial dalam tingkat penurunan di sepanjang
zona pesisir Jakarta, di mana bagian tengah dan barat memiliki tingkat yang
relatif lebih besar. Tingkat penurunan yang lebih besar ini terutama disebabkan
oleh volume ekstraksi air tanah yang lebih tinggi, dikombinasikan dengan
komposisi tanah aluvium yang relatif lebih muda. Informasi lebih lanjut tentang
karakteristik penurunan tanah di Jakarta dapat dilihat di Abidin et al. (2001,
2004, 2008, 2010, 2011, 2013, 2014, 2015a, b), Ng et al. (2012), Chaussard dkk.
(2013). Studi-studi dari Murdohardono dan Sudarsono (1998), Rismianto dan Mak
(1993), Harsolumakso (2001), dan Hutasoit (2001) mengemukakan bahwa
faktor-faktor penyebab kemungkinan penurunan tanah di Jakarta kemungkinan
besar: ekstraksi air tanah yang berlebihan, beban konstruksi ( yaitu,
penyelesaian tanah kompresibilitas tinggi), konsolidasi alami tanah aluvial,
dan aktivitas tektonik. Penurunan tanah di area tertentu biasanya disebabkan
oleh kombinasi faktor-faktor tersebut. Dengan mempertimbangkan variasi spasial
laju penurunan tanah di wilayah Jakarta, maka dapat diharapkan bahwa kontribusi
masing-masing faktor pada penurunan tanah di setiap lokasi juga akan memiliki
variasi spasial. Di Jakarta, aktivitas tektonik tampaknya menjadi faktor yang
paling tidak dominan, sementara ekstraksi air tanah yang berlebihan dianggap
sebagai salah satu faktor dominan untuk menyebabkan
penurunan
tanah.
3. Resiko penurunan tanah di Jakarta
Mempertimbangkan
faktor-faktor penyebab penurunan tanah di Jakarta, sebenarnya ada tiga faktor
risiko utama peningkatan penurunan tanah di Jakarta yang dapat dipertimbangkan,
yaitu: tanah alluvium yang relatif muda di mana Jakarta berada, perkembangan perkotaan
yang cepat, dan penerapan yang relatif lemah dari langkah-langkah mitigasi dan
adaptasi tanah (lihat Gambar 5).
Gambar
5. Faktor-faktor penyebab, faktor peningkatan risiko dan dampak penurunan tanah
di daerah perkotaan di Indonesia.
Jakarta
terletak di daerah pesisir dataran rendah, yang tersusun oleh tanah alluvium
yang relatif muda dan lunak. Menurut Rimbaman dan Suparan (1999), ada lima
bentang alam utama Jakarta, yaitu: bentang alam aluvial (bagian selatan),
bentang darat laut-asal (bagian utara yang berdekatan dengan garis pantai),
bubungan dataran pantai (bagian barat laut dan timur laut), rawa dan bentuk
lahan rawa bakau (pinggir pantai), dan bekas saluran (tegak lurus dengan garis
pantai). Ada juga 13 sungai dan 2 kanal mengalir melintasi Jakarta dari bagian
selatan dan memiliki muara di laut Jawa sepanjang sekitar 35 km garis pantai.
Cekungan Jakarta, menurut Yong et al. (1995), yang terdiri dari sekuens
kuaterner kuartener 200–300 m yang menutupi sedimen tersier, di mana urutan
atas dianggap sebagai dasar cekungan air tanah.
Urutan
kuaterner itu sendiri dapat dibagi lagi menjadi tiga unit utama, yang, dalam
naik urutannya adalah: urutan sedimen laut dan nonmarine pleistocene, endapan
fan vulkanik pleistosen akhir, dan deposit holosen laut dan dataran banjir.
Kondisi geologis dan geomorfologi di atas membuat Jakarta memiliki risiko yang
lebih tinggi (rawan) terhadap fenomena penurunan tanah, terutama dalam kasus
ekstraksi air yang berlebihan dan pemuatan besar-besaran dari bangunan dan
infrastruktur. Pembangunan perkotaan yang cepat di Jakarta juga berkontribusi
terhadap peningkatan risiko kejadian penurunan tanah di Jakarta (Abidin et al.,
2011).
Dalam
hal ini, peningkatan area yang dibangun, populasi, kegiatan ekonomi dan
industri, kemudian akan meningkatkan ekstraksi air tanah dan juga bangunan dan
beban infrastruktur; yang biasanya pada gilirannya menyebabkan fenomena
penurunan tanah. Pembangunan kota Jakarta yang relatif sangat cepat sebagai
kota megapolitan terutama di sektor industri, perdagangan, transportasi,
perumahan, hotel dan apartemen, dan banyak lainnya (Firman, 1999, 2004; Hudalah
et al., 2013); dan mereka telah memperkenalkan beberapa masalah lingkungan yang
negatif (Firman dan Dharmapatni, 1994; Hudalah dan Firman, 2012), seperti:
konversi luas lahan pertanian menjadi pemukiman dan kawasan industri, gangguan
signifikan terhadap fungsi ekologi dan hidrologis dari dataran tinggi di
wilayah Jakarta dan daerah tangkapan sungai, dan peningkatan ekstraksi air
tanah karena pembangunan kegiatan industri dan peningkatan populasi yang
tinggi. Wilayah pesisir Jakarta yang terutama dikomposisikan secara relatif tanah
alluvium muda dan lunak, juga telah berpengalaman luas pembangunan perkotaan,
seperti pembangunan pelabuhan laut, resor pantai, lapangan golf, daerah
pemukiman, industri, apartemen, mal, hotel, dan iklan dan gedung perkantoran.
Reklamasi
pantai juga telah dilakukan untuk mengakomodasi lebih banyak inisiatif
pembangunan pesisir. Ini urban yang luas kegiatan pembangunan akan memiliki
kontribusi dalam peningkatan risiko penurunan tanah di beberapa tempat di
Jakarta (Abidin et al., 2011). Faktor peningkatan risiko lainnya dari penurunan
tanah di Indonesia Jakarta adalah inisiatif mitigasi dan adaptasi yang relatif
lemah (lihat Tabel 1) sedang dilaksanakan di Jakarta. Saat sekarang, bahaya
amblesan tanah belum dipertimbangkan dengan benar di perkotaan pengembangan dan
perencanaan tata ruang, ekstraksi air tanah sistem regulasi, dan kode bangunan
di Jakarta. Meskipun peraturan tersebut telah diperkenalkan untuk membatasi air
tanah ekstraksi di beberapa daerah rawan ambles di Jakarta; Namun, penegakannya
masih perlu dibuktikan.
4. Dampak penurunan tanah di Jakarta
Secara
umum, dampak penurunan tanah di Jakarta dapat dilihat di lapangan dalam
berbagai bentuk seperti ditunjukkan pada Gambar. 6, seperti retak konstruksi
permanen dan jalan, miring rumah dan bangunan, "tenggelamnya" rumah
dan bangunan, perubahan di saluran sungai dan sistem aliran drainase, perluasan
area pesisir dan / atau pedalaman yang lebih luas, dan peningkatan intrusi air
laut pedalaman. Dampak penurunan ini dapat dikategorikan ke dalam
infrastruktur, lingkungan, ekonomi, dan dampak sosial (lihat Tabel 2). Sebagian
besar dari dampak ini secara tidak langsung dihasilkan karena penurunan tanah
di Indonesia daerah, dan beberapa dari mereka secara langsung disebabkan oleh
penurunan. Terlebih lagi, dampak penurunan ini juga memiliki hubungan antara
satu sama lain, dan sistem koneksinya disederhanakan oleh Gambar. 7. Potensi
kerugian karena penurunan tanah di daerah perkotaan seperti Jakarta sebenarnya
cukup signifikan (Ward et al., 2011; Viets, 2010).
Terkait
biaya infrastruktur, sosial dan lingkungan karena dampak langsung dan tidak
langsung dari penurunan tanah secara ekonomi cukup signifikan, dan tidak dapat
di bawah perkiraan dalam pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Dalam hal
ini misalnya, biaya perencanaan, pengembangan dan pemeliharaan bangunan dan
infrastruktur di daerah yang terkena biasanya jauh lebih tinggi daripada
situasi normal. Dampak agunan dari amblesan pesisir di Jakarta, dalam bentuk
banjir pantai saat air laut pasang juga cukup merusak (Abidin et al., 2011, 2015b).
gambar 7. Dampak
penurunan tanah di daerah perkotaan dan sistem koneksinya, dari Abidin et al.
(2015c).
Banjir
pantai yang berulang ini di beberapa daerah di sepanjang pantai, akan
memperburuk struktur dan fungsi bangunan dan infrastruktur, sangat mempengaruhi
kualitas lingkungan hidup dan kehidupan (misalnya kondisi kesehatan dan
sanitasi), dan juga mengganggu kegiatan ekonomi dan sosial di daerah yang
terkena dampak. .
Penurunan
daratan juga harus berdampak pada fenomena banjir di darat di Jakarta (Texier,
2008), karena secara teoritis akan mengarah pada perluasan cakupan dan
kedalaman air yang lebih dalam dari banjir (tergenang), subsidensi kawasan
dapat menjadi beban yang cukup berat bagi pembangunan berkelanjutan Jakarta.
Saat ini, karakteristik detail dan mekanisme penurunan tanah di Jakarta, baik
dalam domain spasial dan temporal, masih belum sepenuhnya ditetapkan.
Kontribusi dari masing-masing faktor penyebab pada penurunan tanah yang diamati
di daerah-daerah tertentu masih perlu diperkirakan dan dimodelkan. Dalam hal
ini, penerapan sistem pemantauan subsidence berkelanjutan (misalnya sistem GNSS
CORS) di Jakarta diperlukan.
Karena,
ada hubungan yang cukup kuat antara kondisi geologi dan geomorfologi, dan
perkembangan perkotaan yang cepat di Jakarta dengan karakteristik penurunan
tanah, maka inisiatif mitigasi dan adaptasi penurunan tanah harus diintegrasikan
dalam program pembangunan perkotaan dan perencanaan tata ruang Jakarta.
Akhirnya, harus ditunjukkan bahwa berdasarkan studi pendahuluan (Abidien et
al., 2015b), ditemukan bahwa ada beberapa korelasi spasial antara daerah-daerah
yang terkena dampak penurunan tanah dengan daerah-daerah banjir (tergenang) di
Jakarta. Namun, karena mekanisme hubungan yang tepat antara dua fenomena belum
terbentuk; maka lebih banyak karakteristik kuantitatif dari korelasi ini tidak
dapat diperkirakan. Untuk membangun hubungan kuantitatif antara penurunan tanah
dan fenomena banjir di Jakarta, maka kegiatan-kegiatan berikut harus dilakukan,
yaitu: pemetaan detail dari tingkat spasial dan temporal dan dampak dari
penurunan tanah, pemetaan detail dari area yang tergenang (tergenang) selama
peristiwa banjir, dan pemodelan risiko banjir detail untuk Jakarta.
5. Kata penutup
Penurunan
tanah adalah bahaya antropogenik alami yang mempengaruhi Jakarta, dengan
tingkat tipikal sekitar 3–10 cm tahun1. Dampak langsung dan tidak langsung
dapat dengan mudah dilihat saat ini di lapangan. Tanpa inisiatif mitigasi dan
adaptasi yang baik dan efektif, bahaya penurunan tanah di Jakarta dapat
memiliki dampak yang lebih buruk di masa depan. Dalam hal ini, dampak
infrastruktur, ekonomi, lingkungan dan sosial tanah