PERUBAHAN KONSTITUSI INDONESIA DARI 5
JULI HINGGA LAHIRNYA PERUBAHAN (AMANDEMEN) I,II,III, dan IV
A. PENGERTIAN
PERUBAHAN KONSTITUSI
Perkataan
“perubahan” dalam konstitusi asal katanya “rubah”, dan kata kerjanya “merubah”.
Menurut Sri Sumantri mengubah UUD atau konstitusi dapat berarti:
Mengubah
sesuatu yang sudah diatur dalam UUD atau konstitusi (membuat isi ketentuan UUD
menjadi lain dari semula melalui penafsiran).
Menambahkan
sesuatu yang belum diatur dalam UUD atau konstitusi.
Sri
Sumantri mengatakan bahwa mengubah konstitusi atau UUD sama dengan
mengamandemen konstitusi atau UUD. Hal ini didasarkan pada mengubah UUD dalam
bahasa Inggrisnya adalah “to amandement the constitution”, sedangkan kata
perubahan konstitusi bahasa inggrisnya adalah “constitution amandement”.
B. PERUBAHAN
KONSTITUSI DI INDONESIA MULAI 5 JULI 1959 HINGGA LAHIRNYA PERUBAHAN
I,II,III,DAN IV
1. Masa
Orde Lama (5 Juli 1959-1966)
Karena
situasi politik pada sidang konstituante 1959 banyak tarik ulur kepentingan
partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli
1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden yang salah satu isinya
memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan UUDS
1950 yang berlaku pada saat itu.
Sejak
Dekrit Presiden 5 Juli 1959, negara Indonesia berdasarkan UUD 1945. Masa ini
disebut masa Orde Lama, banyak pula terjadi penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan. Sistem penmntahan dijalankan tidak sesuai dengan UUD 1945.
Penyimpangan-penyimpangan
itu ialah diantaranya:
Presiden
mengangkat ketua dan wakil ketua DPR, MPR, dan MA serta wakil ketua DPA menjadi
Menteri Negara.
MPRS
menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Presiden
mengeluarkan produk hukum yang setingkat undang-undang tanpa persetujuan DPR.
Presiden
membubarkan DPR hasil pemilu karena berselisih dengan pemerintah mengenai RAPBN
untuk tahun 1961. Dan pada saat itu, DPR menolak mengesahkan RAPBN tersebut.
Kemudian Presiden membentuk DPRGR (DPR Gotong Royong) melalui penpres no.4
tahun 1960 sebagai ganti dari DPR yang dibubarkan sejak 5 Maret 1960. Komposisi
keanggotaan DPRGR tidak didasarkan atas pertimbangan kekuatan partai yang
dihasilkan pemilu tetapi diatur sedemikian rupa oleh presiden.
Masa
orde lama berakhir dengan adanya pemberontakan G30SPKI dan rakyat menuntut
perbaikan-perbaikan dalam penyelenggaraan negara yang otoriter karena pada masa
ini dipaksakan doktrin seolah-olah negara dalam keadaan revolusi dan presiden
sebagai kepala negara otomati menjadi pimpinan besar revolusi, sehingga dengan
hal-hal diatas lahirlah TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat). Dalam keadaan kacau itu
presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah 11 Maret atau Supersemar kepada
Letjen Soeharton berdasarkan surat perintah itu Letjen Soeharto atas nama
Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI/ Mandataris MPRS menandatangi Keputusan
Presiden No, 113/ 1966 tertanggal 12 Maret 1966 yang menyatakan pembubaran PKI.
Untuk
mengakhiri kemelut politik tersebut, pada tanggal 7-12 Maret 1967
diselenggarakan sidang istimewa MPRS dengan tema utama mengenai
pertanggungjawaban presiden selaku mandataris MPRS. Dalam sidang itu MPRS
menilai presiden Soekarno tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban
konstitusionalnya selaku mandataris MPRS, khusunya yang menyangkut kebijakan
menghadapi G30S. Oleh karena itu, MPRS mengeluarkan ketetapan No.
XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintah negara dari Presiden
Soekarno dan mengangkat Jendral Soeharto sebagai pejabat presiden hingga
dipilihnya presiden oleh MPRS hasil pemilu. Selanjutnya, dalam sidang umum V
MPRS tanggal 21 Maret 1968, Soeharto diangkat menjadi presiden RI untuk masa 5
tahun (1968-1973)
2. Masa
Orde Baru (11 Maret 1966-21 Mei 1998)
Setelah
orde lama runtuh, pemerintah baru terbentuk yang diberi nama Orde Baru. Pada
masa ini pemeritah menyatakan dan bertekad akan menjalankan UUD 1945 Dan
Pancasila secara murni dan konsekuen. Dalam upaya untuk mewujudkan hal itu
pemerintah Soeharto mengadakan pemilihan umum pada tahun 1Badan Permusyawaratan
/ Perwakilan rakyat.
Pemerintah
yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 ini menghasilkan lembaga- lembaga negara dan
pemerintah yang tidak sementara lagi.MPR kemudian menetapkan GBHN,
memilih presiden dan wakil presiden dan memberi mandat kepada presiden terpilih
untuk melaksanakan GBHN. Sejak itu mekanisme 5 tahunan berjalan dengan teratur
dan stabil, sebab sepertiga anggota MPR dikontrol dengan pengangkatan.
Setelah
meninjau sejarah pertikaian antara kaum komunis dan kaum islam dalam spektrum
politik pemerintah ORBA berupaya meredakan konflik tersebut dengan membangun
konsep “Demokrasi Pancasila” yang sebenarnya otoriter dengan angkatan
bersenjata menjadi intinya.
Pada
masa Orde Baru, selain kekuasaan eksekutif,kekuasaan legislatif dan yudikatif
juga berada di bawah presiden. Pembangunan di segala bidang dengan prioritas
pertumbuhan ekonomi malah menghasilkan ketidak merataan pendapatan. Ada
segelintir orang yang menguasai dua per tiga GNP Indonesia sehingga semakin
dalam jurang pemisah antara si miskin dan si kaya.Sementara itu pihak lain yaitu
pemerintah dan penguasa menjalin kerjasama yang menguntungkan pribadi dan
keluarga pejabat.
Apabila
menengok kembali tekad awal dari pemerintahan orde baru yang akan menjalankan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen agaknya masalah diatas sangat bertentangan
dengan hal itu. Yang terjadi justru dalam pelaksanaannya malah menyimpang dari
pancasila dan UUD 1945 yang murni. Dalam masalah diatas tadi terjadi
pelanggaran pasal 23 mengenai hal keuangan. Kareena hhutang para komlomerat
atau private debt dijadikan beban rakyat Indonesia atau publik debt. Selain
terjadi pelanggaran pasal 23,pasal 33 mengenai kesejahteraan sosial khususnya
pada pasal 33 ayat 3 “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
akan tetapi pemerintah malah memberi kekuasaan pada pihak swasta untuk
menghancurkan hutan dan sumber alam kita.
Pada
sisi yang berbeda dalam hal kebebasan untuk berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat yang telah diatur pada pasal 28 juga dilanggar, hal ini
dapat kita lihat dengan adanya pembedelan massa serta pembunuhan yang dilakukan
kepada orang-orang yang kritis terhadaap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Pada
masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat “sakral”, diantara
melalui melalui sejumlah peraturan: Ketetapan MPR No: I/MPR/1983 yang
menyatakan bahwa PMR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak
berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya. Ketetapan MPR No :
IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR
berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat
melalui referendum. Undang-undang No 5 tahun 1985 tentang Referendum, yang
merupakan pelaksanaan TAP MPR No.IV/MPR/1983.
Krisis
moneter tahun 1997 berdampak pula terhadap kehidupan sosial dan politik
sehingga terjadi krisis kepercayaan dan krisis politik. Pada awal tahun 1998
keadaan negara semakin tidak menentu dan krisis ekonomi tidak ditemui titik
terang penyelesaiaannya. Akibatnya aksi mahasiswapun menjadi semakin marak
menuntut pengunduran diri presiden Soeharto hingga terjadilah peristiwa
trisakti. Dan pada 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB di gedung istanta merdeka,
presiden soehaarto menyatakan mengundurkan diri dari jabatan presiden. Dengan
demikian berakhirlah masa kekuasaan Orde Baru selama tiga puluh dua tahun.[1]
3. Masa
Reformasi
Setelah
Soeharto turun, BJ Habibie naik menjadi presiden. Karena dianggap hanya sebagai
tokoh transisi, ia dapat berusaha mengurusi transisi itu sebagai tugas yang
istimewa sehingga perannya dikatakan berhasil. Prakarsa awalnya, adalah
mewujudkan reformasi politik. Setelah berunding bersama MPR dan DPR saat itu
hasilnya adalah Sidang Istimewa MPR pada Desember 1998. Sidang itu antara lain
menghasilkan keputusan memberi mandat pada presiden untuk menyelenggarakan
Pemilu pada tahun 1999.
Partai-partai
baru mulai bermunculan untuk memperebutkan kursi DPR dalam pemilu 1999 tersebut
yang diikuti oleh 48 parati. Pemilu 1999 adalah pemilu paling demokratis bila
di bandinngkan pemilu-pemilu jaman ORBA. Sidang MPR pasca pemilu 1999 pemilih
presiden KH. Abdurrahman Wahid dan wakil presiden megawati Soekarno Putri.[2]
Pada
era reformasi ini gagasan untuk melakukan amandemen atas UUD 1945 semakin
menguat karena adanya tuntutan dari mahasiswa untuk mengamandemen UUD
1945,bahkan beberapa partai politik mencantumkan ”amandemen” di dalam program
perjuangan dan platform politiknya. Tidak sedikit pula pakar hukum tata negara,
dan politik yang menimpakan kesalahan kepada UUD 1945 berkenaan dengan krisis
nasional yang kini sedang menimpa bangsa Indonesia. Di antara mereka bahkan ada
yang mengusulkan dilakukannnya perbaikan total atas konstitusi dengan mengubah
UUD 1945 dan bukan hanya dengan amandemen yang sifatnya tambal sulam saja.
Alasan
pada masa reformasi menuntut dilakukannya amandemen atau perubahan terhadap UUD
1945 antara lain :
Fundamen
ketatanegaraan yang dibangun dalam UUD 1945 bukanlah bangunan yang demokratis.
Pada
masa ORBA, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di
tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada presiden, adanya pasal-pasal
yang terlalu “luwes” (sehingga dapat menimbulkan multitafsir) serta kenyataan
perumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup
didukung ketentuan konstitusi. Tujuan perubahan UUD waktu itu adalah
menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM,
pembagian kekuasaaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum.
Hal
lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Keberadaan
UUD 1945 yang selama ini disakralkan, dan tidak boleh diubah kini telah
mengalami beberapa perubahan. Tuntutan perubahan terhadap UUD 1945 itu pada
hakekatnya merupakan tuntutan bagi adanya penetapan ulang terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara. Atau dengan kata lain sebagai upaya memulai
”kontrak sosial” baru antara warga negara dengan negara menuju apa yang
dicita-citakan bersama yang dituangkan dalam sebuah peraturan dasar yaitu
sebuah konstitusi.
Terkait
dengan pelaksanaan UUD 1945, ada hal yang sangat penting dalam sidang MPR 1999
tersebut. Kesepakatam politik seluruh anggota MPR untuk mengamandemen secara
bertahap pasal-pasal di dalam UUD 1945 agar lebih klengkap, lebih jelas ( tidak
multi interpretable)dan sesuai dengan dinamika masyarakat serta perkembangan
jaman. Sedangkan pembukaan UUD 1945 dan konsep negara kesatuan sebagaimana
termaktub di dalam pasal 1 ayat 1 tidak akan diubah. Sistem dan Bentuk
Perubahan Konstitusi periode diberlakukannya UUD’45 sampai Amandemen
Perubahan,
tambahan dan penyempurnaan UUD 1945 dapat dilaksanakan melalui pasal 37 UUD
1945 yaitu oleh MPR berdsarkan ketentuan tersebut itu pula, maka yang dapat
dilakukan oleh MPR berdasarkan haknya sebagaimana ditentukan dalam pasal 37 UUD
1945 adalah merubah, menambah, atau menyempurnakan UUD 1945. Sejak berlakunya
lagi UUD 1945 berdasarkan dekrit presiden 5 Juli 1959, ternyatalah bahwa UUD’45
tersebut tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen sehingga banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan, antara lain banyak lembaga-lembaga negara
sebagaimana di kehendaki UUD’45 masih bersifat sementara, juga lembaga-lembaga
tersebut belum atau tidak berfungsi sebagaimana di tentukan dalam UUD.
4. Sistem
dan Bentuk Perubahan Konstitusi Dari Diberlakukannya Kembali UUD 1945 Sampai
Amandemen UUD 1945 I,II,III, dan IV.
Sistem
perubahan konstitusi di Indonesia menganut sistem constitutional
amandement yaitu perubahan tidak dilakukan langsung terhadap UUD lama, UUD
lama masih tetap berlaku, sementara bagian perubahan atas konstitusi tersebut
merupakan adendum/ sisipan dari konstitusi yang asli (lama). Oleh karena itu,
yang diamandemen merupakan / menjadi bagian dari konstitusi yang asli. Hal ini
terdapat pada konstitusi kita, bahwa selama periode diberlakukannya kembali UUD
’45 sampai dengan amandemen UUD ‘45 I,II,III, IV, banyak pasal yang
diamandemen. Dalam mengamandemen UUD ’45, konstitusi lama masih berlaku
sedangkan hasil dari perubahan disisipkan menjadi bagian dari konstitusi yang
asli. Perubahan tentang UUD ’45 sudah bisa diramal oleh para penyusunnya. Para
penyusun UUD ’45 menyadari bahwa UUD ’45 disusun dalam waktu yang singkat
kurang lebih 49 hari. Jadi dimungkinkan tata cara perubahan untuk
penyempurnaan, bahkan kehendak untuk dikemudian hari untuk membuat suatu UUD
baru. Soekarno mengutarakan bahwa UUD ’45 merupakan UUD kilat.
Dengan
adanya dekrit presiden 5 Juli 1959, maka konstitusi Negara Indonesia kembali
memberlakukan UUD 1945. Walaupun diberlakukan kembali UUD ’45, ternyata UUD ’45
tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sehingga banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan, maka tuntutan untuk merubah konstitusipun mulai
banyak. Kondisi politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain yang senantiasa
berubah, juga mewajibkan untuk menyesuaikan ketentuan hukum yang berlaku.
Sehingga konstitusi perlu diubah jika tidak sesuai dengan kemauan masyarakat.
Dorongan untuk mengubah dan memperbaharui UUD 1945 juga dikarenakan UUD 1945
sebagai subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaannya, tidak berjalan
sesuai dengan “staatsidee” mewujudkan Negara berdasarkan konstitusi seperti
tegaknya tatanan demokrasi, Negara berdasarkan atas hukum yang menjamin hal-hal
seperti hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta keadilan
social bagi seluruh rakyat Indonesia. Justru yang terjadi adalah etatisme dan
otoriterisme yang menggunakan UUD ’45 sebagai sandaran. Amandemen terhadap UUD
’45 tidak terutama ditentukan oleh ketentuan hukum yang mengatur tata cara
perubahan, tetapi lebih ditentukan oleh berbagai kekuatan politik dan social
yang dominan pada saat-saat tertentu.
UUD
’45 menampilkan keunikan yang tidak lazim dijumpai pada sistem UUD di
Negara-negara lain. Keunikan itu antara lain mengenai Penjelasan dan aturan
Tambahan. Belum pernah dijumpai ada UUD yang mempunyai penjelasan seperti UUD
’45. Bahkan penjelasan itu dimuat dan diumumkan dalam Berita Republik
(1946) dan Lembaran Negara (1959) bersama-sama pasal-pasal dalam UUD.
Penjelasan dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara. Keunikan-keunikan ini terjadi
akibat dari sifat UUD yang kilat, sehingga baik isi maupun penyusunannya kurang
memperhatikan syarat, unsur, dan asas-asas pembuatan suatu undang-undang yang
baik. Pada saat ini tidak semua aturan peralihan dalam UUD ’45 masih berlaku,
dikarenakan baik objek, kewenangan atau sasaran yang hendak dicapai tidak ada
lagi / waktunya sudah lampau. Demikian pula aturan tambahan, sebagai aturan
temporer, aturan tambahan hanya berlaku sesuai dengan ketentuan dalam UUD ’45.
Cara
perubahan konstitusi di Indonesia menganut formal amandemen yaitu perubahan
konstitusi yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang terdapat di dalam
konstitusi yang bersangkutan. Di Indonesia, tentang tata cara perubahan
konstitusi tercantum dalam UUD ’45 pasal 37 dimana ada badan yang berwenang
menetapkan dan merubah UUD yaitu MPR.
Berdasarkan
pasal 37 UUD 1945, tata cara perubahan UU di Indonesia sebagai berikut:
Usul
perubahan pasal-pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan
oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR.
Setiap
usul perubahan pasal-pasal UUD diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan
jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
Untuk
mengubah pasal-pasal UUD, siding MPR dihadiri oelh sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota MPR.
Putusan
untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya
limapuluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.[4]