Monday, December 31, 2018

Contoh Teori Lahan Menurut Von Thunen


A.    Teori Lahan Menurut Von Thunen
Teori nilai lahan dikembangkan oleh Von Thunen (1826). Von Thunen menyatakan bahwa pola penggunaan lahan sangat ditentukan oleh biaya transportasi yang dikaitkan dengan jarak dan sifat barang dagangan khususnya hasil pertanian.
Von Thunen mengkondisikan ada empat hal yang harus dipenuhi, yaitu :
1.      Isolated state;
2.      Uniform plain;
3.      “transportation costs” berbanding lurus dengan jarak; dan
4.      Maximise profits
Namun walaupun teori yang dikemukakan oleh Von Thunen dapat dikatakan teori yang bisa dikatakan banyak digunakan namun tetap memiliki kekurangan yang antara lain bahwa semua kota tidak memiliki kondisi fisik lingkungan yang sama (uniformplain). Sehingga kota akan memiliki pola penggunaan lahan yang berbeda-beda sesuai dengan karakteristik wilayahnya.
Menurut teori von Thunen, daerah perkotaan adalah pasar bagi produk-produk yang dihasilkan di daerah sekelilingnya. Karena itu, keberadaan dekat dengan daerah perkotaan adalah sangat penting bagi aktivitas-aktivitas ekonomi. Oleh karena itu kota atau perkotaan sangat penting bagi daerah disekitarnya untuk membantu aktivitas aktivitas ekonomi dan sebagainya sehingga seluruh kegiatan dapat didistribusikan dengan baik dan cepat sampai.
Von Thunen berasal dari jerman dan merupakan seorang ahli ekonomi yang mengemukakan teori landuse,sehingga Von thunen lebih mengetahui tentang bagaimana biaya dan jarak yang ideal bagi perdagangan, sehingga dalam perkembangannya seperti jarak tepuh untuk suatu barang agar sampai ke tempat tujuan dengan aman diperhitungkan dan juga jarak yang jauh akan memakan biaya yang lebih banyak

B.     Perkembangan Teori Von Thunen
      Johann Heinrich von Thunen Pada Tahun 1826 pertama-tama mengembangkan sebuah model lingkaran konsentrik sebagai suatu model pola-pola pendayagunaan lahan yang memaksimisasikan sewa tanah di suatu wilayah idaman dalam bukunya berjudul The Theory of Isolated State.
Model  von Thunen ini menjelaskan mengapa sewa tanah naik bersama accessibility (aksesibilitas/keterjangkauan) tanah. Dalam model itu, ia mengasumsikan suatu negara bagian yang terpencil dengan sebuah desa sebagai pasar yang dikelilingi oleh topografi, tanah datar dan iklim yang sama, dimana tidak terdapat jaringan transportasi, output per are adalah konstan, biaya produksi rata-rata juga konstan, berlaku biaya transpor yang linier.
Model von Thunen mengasumsikan semua faktor sama hingga hanya jarak dari desa itu yang mempengaruhi pendayagunaan lahan. Hampir semua barang yang dihasilkan di luar desa/pasar itu dikonsumsi di desa/pasar itu. Model von Thunen menggunakan konsep gradien sewa sebagai tempat kedudukan bid rents, yakni, fungsi linier jarak dari pasar dan yang lerengnya bergantung pada harga pasar suatu komoditi, bobot komoditi itu, taripa angkutan dan biaya produksi.
Dengan asumsi-asumsi itu, model lingkaran konsentrik von Thunen menunjukkan kurva-kurva penawaran sewa tanah bagi beberapa aktivitas. Untuk tiap aktivitas, kurva penawaran sewa menurun semakin jauh dari pasar. Agar bid rent maksimum, ditanam komoditi yang menghasilkan sewa tertinggi untuk tiap aktivitas.
C.      Sumber :
Jurnal :
1.      Soepono S.1998. “PERANAN DAERAH PERKOTAAN BAGI PEMBANGUNAN REGIONAL PENERAPAN MODEL THUNEN YANG DIMODIFIKASIKAN DI INDONESIA” : Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 13 No.2 Tahun 1998
2.      Wahyuningsih Melik.2008 “POLA DAN FAKTOR PENENTU NILAI LAHAN PERKOTAAN DI KOTA SURAKARTA” : Tugas Akhir JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Continue reading Contoh Teori Lahan Menurut Von Thunen

Saturday, December 15, 2018

Dampak Penurunan tanah di DKI Jakarta


Abstrak.
Jakarta adalah ibu kota Indonesia yang terletak di pantai barat-utara pulau Jawa, dalam dataran delta dan melewati 13 sungai alami dan buatan. Megapolitan ini memiliki populasi sekitar 10,2 juta orang yang tinggal di daerah sekitar 660 km2, dengan pembangunan kota yang relatif cepat. Telah dilaporkan selama bertahun-tahun bahwa beberapa tempat di Jakarta mereda dengan tingkat yang berbeda. Faktor penyebab utama penurunan tanah di Jakarta kemungkinan besar adalah ekstraksi air tanah yang berlebihan, beban konstruksi (yaitu, penyelesaian tanah kompresibilitas tinggi), dan konsolidasi alami tanah alluvial. Penurunan tanah di Jakarta telah terjadi belajar menggunakan survei leveling, survei GPS, teknik InSAR dan Geometric-Histori. Hasil yang diperoleh dari survei leveling, survei GPS dan teknik INSAR selama periode antara 1974 dan 2010 menunjukkan bahwa penurunan tanah di Jakarta memiliki variasi spasial dan temporal dengan tingkat tipikal sekitar 3–10 cm tahun􀀀1. Pembangunan kota yang cepat, tanah alluvium yang relatif muda, dan inisiatif mitigasi dan adapatasi yang relatif lemah, adalah faktor peningkatan risiko penurunan tanah di Jakarta. Dampak ambles dapat dilihat sudah di lapangan dalam bentuk retak dan kerusakan perumahan, bangunan dan infrastruktur; perluasan area banjir (sungai dan pesisir) yang lebih luas, kerusakan sistem drainase, perubahan saluran sungai dan sistem aliran drainase dan meningkatnya intrusi air laut pedalaman. Dampak ini dapat dikategorikan ke dalam dampak infrastruktur, lingkungan, ekonomi dan sosial. Risiko dan dampak dari penurunan tanah di Jakarta dan aspek-aspek terkaitnya dibahas dalam makalah ini.
1.      Pengantar
Penurunan tanah adalah bahaya antropogenik alami yang mempengaruhi cukup banyak daerah perkotaan besar (kota) di dunia, termasuk Jakarta, ibu kota di Indonesia. Letaknya di daerah dataran rendah di pantai utara Jawa Barat, berpusat pada koordinat sekitar 6-150 S dan C106? 500 E (lihat Gambar 1), dalam dataran delta dan melewati 13 kanal alami dan dua kanal. Megapolitan ini memiliki populasi sekitar 10,1 juta orang pada tahun 2014, menghuni area seluas sekitar 662 km2, dengan pembangunan kota yang relatif cepat. Secara topografi, wilayah Jakarta memiliki kemiringan berkisar antara 0 dan 2? di bagian utara dan tengah, antara 0 dan 5? di bagian selatan, dan daerah paling selatannya memiliki ketinggian sekitar 50m di atas permukaan laut rata-rata. Penurunan tanah adalah fenomena terkenal yang mempengaruhi Jakarta, dan telah diamati menggunakan beberapa teknik geodetik dan telah banyak dilaporkan selama bertahun-tahun (Rismianto dan Mak, 1993; Murdohardono dan Sudarsono, 1998; Purnomo dkk., 1999; Rajiyowiryono, 1999 ; Abidin dkk., 2001, 2004, 2008, 2010, 2011, 2013; Koudogbo et al., 2012; Ng et al., 2012; Chaussard et al., 2013). Menurut studi tersebut, penurunan tanah di Jakarta memiliki variasi spasial dan temporal dengan tingkat tipikal sekitar 3–10 cm tahun􀀀1.















Dampak penurunan tanah di Jakarta dapat dilihat sudah di lapangan dalam bentuk retak dan rusaknya perumahan, bangunan dan infrastruktur; perluasan area banjir (sungai dan pesisir) yang lebih luas, kerusakan sistem drainase, perubahan saluran sungai dan sistem aliran drainase dan peningkatan intrusi air laut darat. Secara umum, dampak ini dapat dikategorikan ke dalam dampak infrastruktur, lingkungan, ekonomi dan sosial. Karena informasi karakteristik penurunan tanah penting untuk pembangunan perkotaan yang berkelanjutan di Jakarta (lihat Gbr. 2), maka memahami risiko dan dampak dari penurunan tanah di Jakarta dan aspek-aspek terkaitnya sangat penting dan strategis, dan land subsidence charactristics harus
terus dipantau.

2.      Karakteristik penurunan tanah di Jakarta
Fenomena penurunan tanah di Jakarta sebenarnya telah diamati menggunakan beberapa metode geodetik, seperti survei Leveling, survei GPS, InSAR, survei Microgravity, dan metode Historis-Geometris. Secara umum, penurunan tanah yang diamati di Jakarta memiliki variasi spasial dan temporal, dengan tingkat tipikal sekitar 3–10 cmyear􀀀1 (lihat Gambar 3, 4). Tingkat penurunan ini diperoleh dari integrasi hasil yang diperoleh oleh survei Leveling (1974-1997), survei GPS (1997-2010), dan teknik InSAR (2006-2010). Dalam periode ini sekitar 37 tahun (1974-2010), total penurunan hingga sekitar 4m telah diamati di beberapa lokasi di Jakarta. Subsidi tanah yang diamati di sepanjang wilayah pesisir Jakarta relatif memiliki tingkat yang lebih besar daripada daerah pedalaman. Gambar 3 dan 4 juga menunjukkan adanya variasi spasial dalam tingkat penurunan di sepanjang zona pesisir Jakarta, di mana bagian tengah dan barat memiliki tingkat yang relatif lebih besar. Tingkat penurunan yang lebih besar ini terutama disebabkan oleh volume ekstraksi air tanah yang lebih tinggi, dikombinasikan dengan komposisi tanah aluvium yang relatif lebih muda. Informasi lebih lanjut tentang karakteristik penurunan tanah di Jakarta dapat dilihat di Abidin et al. (2001, 2004, 2008, 2010, 2011, 2013, 2014, 2015a, b), Ng et al. (2012), Chaussard dkk. (2013). Studi-studi dari Murdohardono dan Sudarsono (1998), Rismianto dan Mak (1993), Harsolumakso (2001), dan Hutasoit (2001) mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebab kemungkinan penurunan tanah di Jakarta kemungkinan besar: ekstraksi air tanah yang berlebihan, beban konstruksi ( yaitu, penyelesaian tanah kompresibilitas tinggi), konsolidasi alami tanah aluvial, dan aktivitas tektonik. Penurunan tanah di area tertentu biasanya disebabkan oleh kombinasi faktor-faktor tersebut. Dengan mempertimbangkan variasi spasial laju penurunan tanah di wilayah Jakarta, maka dapat diharapkan bahwa kontribusi masing-masing faktor pada penurunan tanah di setiap lokasi juga akan memiliki variasi spasial. Di Jakarta, aktivitas tektonik tampaknya menjadi faktor yang paling tidak dominan, sementara ekstraksi air tanah yang berlebihan dianggap sebagai salah satu faktor dominan untuk menyebabkan
penurunan tanah.

3.      Resiko penurunan tanah di Jakarta

Mempertimbangkan faktor-faktor penyebab penurunan tanah di Jakarta, sebenarnya ada tiga faktor risiko utama peningkatan penurunan tanah di Jakarta yang dapat dipertimbangkan, yaitu: tanah alluvium yang relatif muda di mana Jakarta berada, perkembangan perkotaan yang cepat, dan penerapan yang relatif lemah dari langkah-langkah mitigasi dan adaptasi tanah (lihat Gambar 5).
Gambar 5. Faktor-faktor penyebab, faktor peningkatan risiko dan dampak penurunan tanah di daerah perkotaan di Indonesia.

Jakarta terletak di daerah pesisir dataran rendah, yang tersusun oleh tanah alluvium yang relatif muda dan lunak. Menurut Rimbaman dan Suparan (1999), ada lima bentang alam utama Jakarta, yaitu: bentang alam aluvial (bagian selatan), bentang darat laut-asal (bagian utara yang berdekatan dengan garis pantai), bubungan dataran pantai (bagian barat laut dan timur laut), rawa dan bentuk lahan rawa bakau (pinggir pantai), dan bekas saluran (tegak lurus dengan garis pantai). Ada juga 13 sungai dan 2 kanal mengalir melintasi Jakarta dari bagian selatan dan memiliki muara di laut Jawa sepanjang sekitar 35 km garis pantai. Cekungan Jakarta, menurut Yong et al. (1995), yang terdiri dari sekuens kuaterner kuartener 200–300 m yang menutupi sedimen tersier, di mana urutan atas dianggap sebagai dasar cekungan air tanah.
Urutan kuaterner itu sendiri dapat dibagi lagi menjadi tiga unit utama, yang, dalam naik urutannya adalah: urutan sedimen laut dan nonmarine pleistocene, endapan fan vulkanik pleistosen akhir, dan deposit holosen laut dan dataran banjir. Kondisi geologis dan geomorfologi di atas membuat Jakarta memiliki risiko yang lebih tinggi (rawan) terhadap fenomena penurunan tanah, terutama dalam kasus ekstraksi air yang berlebihan dan pemuatan besar-besaran dari bangunan dan infrastruktur. Pembangunan perkotaan yang cepat di Jakarta juga berkontribusi terhadap peningkatan risiko kejadian penurunan tanah di Jakarta (Abidin et al., 2011).
Dalam hal ini, peningkatan area yang dibangun, populasi, kegiatan ekonomi dan industri, kemudian akan meningkatkan ekstraksi air tanah dan juga bangunan dan beban infrastruktur; yang biasanya pada gilirannya menyebabkan fenomena penurunan tanah. Pembangunan kota Jakarta yang relatif sangat cepat sebagai kota megapolitan terutama di sektor industri, perdagangan, transportasi, perumahan, hotel dan apartemen, dan banyak lainnya (Firman, 1999, 2004; Hudalah et al., 2013); dan mereka telah memperkenalkan beberapa masalah lingkungan yang negatif (Firman dan Dharmapatni, 1994; Hudalah dan Firman, 2012), seperti: konversi luas lahan pertanian menjadi pemukiman dan kawasan industri, gangguan signifikan terhadap fungsi ekologi dan hidrologis dari dataran tinggi di wilayah Jakarta dan daerah tangkapan sungai, dan peningkatan ekstraksi air tanah karena pembangunan kegiatan industri dan peningkatan populasi yang tinggi. Wilayah pesisir Jakarta yang terutama dikomposisikan secara relatif tanah alluvium muda dan lunak, juga telah berpengalaman luas pembangunan perkotaan, seperti pembangunan pelabuhan laut, resor pantai, lapangan golf, daerah pemukiman, industri, apartemen, mal, hotel, dan iklan dan gedung perkantoran.
Reklamasi pantai juga telah dilakukan untuk mengakomodasi lebih banyak inisiatif pembangunan pesisir. Ini urban yang luas kegiatan pembangunan akan memiliki kontribusi dalam peningkatan risiko penurunan tanah di beberapa tempat di Jakarta (Abidin et al., 2011). Faktor peningkatan risiko lainnya dari penurunan tanah di Indonesia Jakarta adalah inisiatif mitigasi dan adaptasi yang relatif lemah (lihat Tabel 1) sedang dilaksanakan di Jakarta. Saat sekarang, bahaya amblesan tanah belum dipertimbangkan dengan benar di perkotaan pengembangan dan perencanaan tata ruang, ekstraksi air tanah sistem regulasi, dan kode bangunan di Jakarta. Meskipun peraturan tersebut telah diperkenalkan untuk membatasi air tanah ekstraksi di beberapa daerah rawan ambles di Jakarta; Namun, penegakannya masih perlu dibuktikan.



4.      Dampak penurunan tanah di Jakarta


Secara umum, dampak penurunan tanah di Jakarta dapat dilihat di lapangan dalam berbagai bentuk seperti ditunjukkan pada Gambar. 6, seperti retak konstruksi permanen dan jalan, miring rumah dan bangunan, "tenggelamnya" rumah dan bangunan, perubahan di saluran sungai dan sistem aliran drainase, perluasan area pesisir dan / atau pedalaman yang lebih luas, dan peningkatan intrusi air laut pedalaman. Dampak penurunan ini dapat dikategorikan ke dalam infrastruktur, lingkungan, ekonomi, dan dampak sosial (lihat Tabel 2). Sebagian besar dari dampak ini secara tidak langsung dihasilkan karena penurunan tanah di Indonesia daerah, dan beberapa dari mereka secara langsung disebabkan oleh penurunan. Terlebih lagi, dampak penurunan ini juga memiliki hubungan antara satu sama lain, dan sistem koneksinya disederhanakan oleh Gambar. 7. Potensi kerugian karena penurunan tanah di daerah perkotaan seperti Jakarta sebenarnya cukup signifikan (Ward et al., 2011; Viets, 2010).





Terkait biaya infrastruktur, sosial dan lingkungan karena dampak langsung dan tidak langsung dari penurunan tanah secara ekonomi cukup signifikan, dan tidak dapat di bawah perkiraan dalam pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Dalam hal ini misalnya, biaya perencanaan, pengembangan dan pemeliharaan bangunan dan infrastruktur di daerah yang terkena biasanya jauh lebih tinggi daripada situasi normal. Dampak agunan dari amblesan pesisir di Jakarta, dalam bentuk banjir pantai saat air laut pasang juga cukup merusak (Abidin et al., 2011, 2015b).














gambar 7. Dampak penurunan tanah di daerah perkotaan dan sistem koneksinya, dari Abidin et al. (2015c).
Banjir pantai yang berulang ini di beberapa daerah di sepanjang pantai, akan memperburuk struktur dan fungsi bangunan dan infrastruktur, sangat mempengaruhi kualitas lingkungan hidup dan kehidupan (misalnya kondisi kesehatan dan sanitasi), dan juga mengganggu kegiatan ekonomi dan sosial di daerah yang terkena dampak. .
Penurunan daratan juga harus berdampak pada fenomena banjir di darat di Jakarta (Texier, 2008), karena secara teoritis akan mengarah pada perluasan cakupan dan kedalaman air yang lebih dalam dari banjir (tergenang), subsidensi kawasan dapat menjadi beban yang cukup berat bagi pembangunan berkelanjutan Jakarta. Saat ini, karakteristik detail dan mekanisme penurunan tanah di Jakarta, baik dalam domain spasial dan temporal, masih belum sepenuhnya ditetapkan. Kontribusi dari masing-masing faktor penyebab pada penurunan tanah yang diamati di daerah-daerah tertentu masih perlu diperkirakan dan dimodelkan. Dalam hal ini, penerapan sistem pemantauan subsidence berkelanjutan (misalnya sistem GNSS CORS) di Jakarta diperlukan.
Karena, ada hubungan yang cukup kuat antara kondisi geologi dan geomorfologi, dan perkembangan perkotaan yang cepat di Jakarta dengan karakteristik penurunan tanah, maka inisiatif mitigasi dan adaptasi penurunan tanah harus diintegrasikan dalam program pembangunan perkotaan dan perencanaan tata ruang Jakarta. Akhirnya, harus ditunjukkan bahwa berdasarkan studi pendahuluan (Abidien et al., 2015b), ditemukan bahwa ada beberapa korelasi spasial antara daerah-daerah yang terkena dampak penurunan tanah dengan daerah-daerah banjir (tergenang) di Jakarta. Namun, karena mekanisme hubungan yang tepat antara dua fenomena belum terbentuk; maka lebih banyak karakteristik kuantitatif dari korelasi ini tidak dapat diperkirakan. Untuk membangun hubungan kuantitatif antara penurunan tanah dan fenomena banjir di Jakarta, maka kegiatan-kegiatan berikut harus dilakukan, yaitu: pemetaan detail dari tingkat spasial dan temporal dan dampak dari penurunan tanah, pemetaan detail dari area yang tergenang (tergenang) selama peristiwa banjir, dan pemodelan risiko banjir detail untuk Jakarta.



5.      Kata penutup
Penurunan tanah adalah bahaya antropogenik alami yang mempengaruhi Jakarta, dengan tingkat tipikal sekitar 3–10 cm tahun􀀀1. Dampak langsung dan tidak langsung dapat dengan mudah dilihat saat ini di lapangan. Tanpa inisiatif mitigasi dan adaptasi yang baik dan efektif, bahaya penurunan tanah di Jakarta dapat memiliki dampak yang lebih buruk di masa depan. Dalam hal ini, dampak infrastruktur, ekonomi, lingkungan dan sosial tanah

Continue reading Dampak Penurunan tanah di DKI Jakarta